Sunday, 19 June 2016

Ulama Pejuang Sejarah Aceh



Di Aceh perjuangan ulama buka hal baru. Yeoh (1994) misalnya meneliti tentang hubungan antara ulama, umarah, dan ummah. Ia menilai dalam masyarakat Aceh ulama merumpakan suatu kelompok yang cukup berperan. Titik puncak peran dalam politik adalah sebagai mufti pada masa kesultanan Aceh Darussalam. Fatwa yang di keluarkan oleh ulama cukup berpengaruh dalam pengambilang kebijakan dan arah pemerintahan masa itu, dan ulama pun juga memberi contoh tauladan yang sangat bijak dalam memutuskan suatu hukum dan cukup tegas dalam melaksanakan, tidak memandang kalau yang salah anak raja maka anak raja itu pula di hukum bahkan konon anak raja sultan Aceh juga pernah di hukum mati karna melanggar syariat yang di tetapkan pada masa itu. Di samping itu, ulama pun bertugas sebagai juru dakwah, pendidikan, dan juga sebagai pejuang (Saby, 1995). Beberapa ulama terkenal pada masa itu, misalnya Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630), Nuruddin an-Raniry (w. 1658), dan Abdurrauf al-Singkili (w. 1730  M) yang juga menjabat sebagai qadhi malikon adil di masa sultanah (Azra, 1998; 202), dan masih sangat banyak ulama yang tidak tersebut dalam catatan sejarah yang telah memperjuang Aceh ini.
       Kiprah ulama terus berlangsung  sampai masa perjuangan melawan penjajah. Pada masa itu muncul ulama perang sabi seperti Teungku Chik di Tiro. Walaupun terjadi degradasi peran sejak Belanda menguasai Aceh di awal abad ke-20, tidak lantas membuat ulama kehilangan peran sama sekali. Menjelang pada akhir kolonialisme Belanda, ulama Aceh perlahan-lahan mulai muncul mengorganisasikan diri. Hal ini di tandai dengan berdirinya PUSA ( Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 oleh Tengku Daud Beureueh.
   Ulama PUSA di kenal oleh kalangan masyarak sebagai kelompok yang setia terhadap publik yang bersebrangan politik dengan uleebalang yang mempertahankan status kekuasaan yang telah diberikan oleh Belanda. Hal inilah yang kemudian memicu perang Cumbok, sebuah perang antara ulama dan uleebalang. PUSA akhirnya berhasil mematahkan perlawanan kelompok aristokrat bangsawan Aceh, atau uleebalang. Ketika Aceh melebur menjadi bagian dari Republik Indonesia yang menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, perang ulama kian penting seiring dengan penguasaan mereka atas sejumlah posisi penting pemerintahan lokal di Aceh. Namun, PUSA jarang muncul lagi secara resmi di tengah publik khususnya sesudag pemberontakan yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang berakhir pada dekade awal 60-an. Meskipun kiprah PUSA tidak terlalu lama, organisasi ini dinilai  sebagai cikal bakal lembaga ulama yang kelak hadir di Aceh. Tegaknya berdiri Aceh sekarang tidak melain dari hasil perjuangan ulama dan umara-umara terdahulu yang mana mereka siap syahid dan siat sahaja dalam menyongsong ummat kedalam mentut syariat Allah.

No comments:

Post a Comment