disususn oleh : Reza Fahlevi
Batu nisann polos tidak berhias, umumnya mengikuti rancangan bentuk
potongan batu nisan prototype ‘Batu Pasai’, yaitu suatu rancangan bentuk papan
batu atau hampir serupa balok batu serupa iwan atau bentuk ‘pintu gerbang’
dengan lengkung bergaya Persia Islam. Rancangan bentuk iwan tersebut sering
dipertegas dengan panil dari goresan sederhana, sehingga menjadi bingkai berbentuk
‘pintu’. Iwan sangat dikenal dalam rancangan seni bangunan atau arsitektural
dunia Islam khususnya dalam kebudayaan Persia Islam. Rancangan batu nisann
jenis ini persebarannya sangat luas di Aceh dan menjadi tradisi batu nisann
masa Samudera Pasai. Batu nisann seperti ini biasanya digunakan sebagai penanda
bagian kaki makam, walaupun beberapa makam juga ditandai dengan batu nisan ini
baik untuk penanda bagian kepala dan kaki makam.[1]
Bintara adalah gelar dari kerajaan yang menguasai wilayah perdangangan
pangkat bintara lebih tinggi dari Ulee Balang. Gigieng nama tempat perdangan
tersebut kata Gigieng berasal dari Bahasa India yang berarti “perdangangan”.
Bintara Gigieng adalah seseorang yang menguasai tempat perdangangan tersebut
dan mereka tangan kanan dari raja dan kekuasaan mereka lebih besar dari Ulee
Balang, Bintara Gigieng ini berkisar pada masa kerajaan Iskandar Muda tepatnya
berkisar pada tahun 1607-1636 Masehi[2]. Dan
cerita ini juga dikuatkan oleh Bang Wan beliau adalah salah satu warga desa
Lambada Lhok yang juga mengatakan bahwa”Bintara Gigieng merupakan pahlawan pada
masa Sultan Iskandar Muda dan sangat denkat dengan Iskandar Muda ketika itu
sehingga Raja Iskadar Muda sangat sering datang ke Kuala Gigieng tersebut[3].
Referensi yang berbada dari
Taufit beliau salah satu pencinta sejarah dan sangat sering bertanyak kepada
orang-orang yang lebih tua, beliau mengatakan “Kuala Gigieng ini adalah salah
satu tempat pertahanan pertempuran Aceh dahulu dan penjaganya digelar dengan
Bintara, sedangkan Gigieng adalah teluk lalu lalang kapal-kapal atau sebuah
Benteng pertahanan yang di awasi langsung oleh Laksamana Malahayati sehingga
terjalin persaudaran antara Bintara Gigieng dan Indrapatra yang bertepatan di
Desa ladong Kec. Baitussalam. Kuala Gigieng ini adalah wilayah tritorial
Malahayati dan juga markas pertahanan melawan belanda, Bintara Gigieng
merupakan salah satu penguasa didaerah itu.
Adapun batu nisann Bintara Gigieng salah satu batu nisan bercorak
dari Gujarat dan bisa saja batu nisan itu dilukis disana atau bahan menatah
saja yang di bawa dari sana[4].
Mifatah juga mengatakan bahwa corak batu nisan yang berada di Bintara Gigieng
itu berasal dari Gujarat makanya orang dalam Bahasa Aceh batun nisan di sebut
“Bate Jeurat” ini salah satu fakta bahwa banyak batu nisan di Aceh ini berasal
dari Gujarat dan India[5].
Cek Wadi begitu nama sapaannya juga menegaskan bahwa batu nisan
yang berada disekitar pesisir Lambada Lhok ini merupakan batu nisan Gujarat dan
Arab beliau juga menceritakan sedikit mengenai Bintara Gigieng beliau berkata
“saya tidak tahu banyak mengenai Bintara Gigieng tapi yang saya dengar-dengar
bahwa Bintara Gigieng ini merupakan ulama sebelum masa Sultan Iskadar Muda dan
saya juga mersa bimbang dengan hal ini dikarnakan memang orang tua dulu juga
tidak banyak membahas soal makam Bintara Gigieng ini sehingga sangat minim
cerita yang saya dapat[6].
Yahwa Kasem mengakatakan bahwa Bintara Gigieng ini merupakan
seorang pahlawan perang Aceh dahulu ketika melawan Belanda beliau adalah
pejuang dan syahid disitu sehingga dikebumikan di situ bersama
pengawal-pengawalnya.[7]
Mak Ni juga mengulas hal yang sama seperti Yahwa Kasem bahwa
Bintara Gigieng syahid disitu sehingga dikebumikan dikawasan itu[8].
Bintara Gigieng merupakan ulama sesudah kerajaan Sultan Iskadar
Muda dan beliau mengharamkan untuk sekolah dan beliau menerangkat bahwa tidak
boleh ada yang teliti tentang makam tersebut dikarnakan bukan urusan dunia dan
beliau benci makam itu dikaitkan dengan sekolah[9].
Batu nisan Po
Meurah, sudah terjatuh di hempas Tsunami Aceh.
|
Salah satu batu nisan Po Meurah yang di bawa sekitar 100
meter dari kuburnya.
|
Jauh dari makam Bintara Gigieng tepatnya sekitar 500 meter ke
Selatan terdapat sebuah batu nisann yang sangat indah berukir-ukir. Po Meurah nama pemilik batu
nisan indah tersebut, pada tahun 2004 ketika pesisir Aceh diterjang tsunami ini
sangat mempengahuri teliti saya karna sangat banyak batu nisann yang bertebaran
dan hilang. Dari sini saya bergerak dan juga meneliti makam Po Meurah.
Kubu Nek Meurah atau lebih dikenal dengan sapaan Po Meurah berasal
dari Perelak, Meurah sendiri berasal dari Bahasa India yang berarti “Gajah”
konon Po Meurah ini anak dari raja Perelak yang ketika masa perlawanan dengan
orang Hindu dan Budha, Po Meurah ini diasingkan ke hutan oleh ayahnya
dikarnakan jangan dibunuh oleh orang Hindu dan Budha, Po Meurah diasuh oleh
gajah sehingga kekuatannya juga seperti gajah. Po Meurah anak dari raja Perelak
yang bernama Bandar Khalifah beliau berasal dari Arab dan melakukan perlawanan
dengan Hindu dan Budha.
Akan tetapi batu nisan tersebut diletakkan jauh sesudah beliau
meninggal tetapnya pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda[10].
Yahwa Kasem dan Mak Ni menceritakan bahwa sebelum Lambada Lhok ini
menjadi sebuah desa Kuala Gigieng itu lebih terkenal karna disitu pusat
perdangangan yang sangat besar sangat banyak bangsa asing yang datang ke Gigieng
untuk melakuakn transaksi jual beli, disini juga terdapat orang-orang yang
menjual emas dan memiliki gudang emas. Bukti lain beliau juga menegaskan
banyaknya warga yang menemukan Dirhan emas ditepi pantai Lambada Lhok sekarang.
Saya bertanya siapa yang berkerja disitu, beliau menjawab “dulu sebelum ada
kelompok yang bermana Kleng yang berarti “Hitam gelap” orang-orang Kleng ini
yang berkerja dan ini juga dibuktikan dengan masih ada orang-orang berkulit
hitam di Lambada Lhok dan juga dinamakan dengan kawasan “Juroeng Kleng” Gang
orang-orang Hitam”.
Yahwa kasem juga mengatakan di tengah-tengah kolam ikan yang ada di
Lambada Lhok sekarang terdapat gudang emas yang sampai sekarang belum ada yang
menemukannya, gudang emas ini seperti bongkahan-bongkahan emas dan
pedang-pedang, persis yang ditemukan di Gampong Pande[11].
Miftah juga berkata “dulu disitu terdapat Kuta atau benteng yang
sangat banyak pengujungnya dikarenakan juga disitu pusat perdangangan, Kuala
Gigieng juga merupakan tempat transaksi besar dan ada juga orang yang mengambil
pajak yang disebut dengan Syah Bandar (orang pengambil pajak) nama Syah Bandar
ketika itu adalah Teuku Yusof Adam dengan gelar (Lahuda Jambi) Lahuda orang
yang memiliki kapal-kapal atau bahtera.
Sebelum ada desa Lambada Lhok kawasan itu lebih dikenal dengan
Gigieng disitu terdapat benteng atau kuta yang dikuasai oleh pasukan Kleng dan
mereka memiliki markas disitu, konon mereka juga ingin menguasai pesisir laut
Indrapatra, mereka menyerang lalu mereka kalah dan lari ke berbagai daerah,
sehingga di Sigli juga terdapat nama Gigieng ini berasal dari orang Kleng yang
lari pertempuran melawan benteng Indrapatra[12].
Maka dari sinilah Po Meurah tinggal di Kuala Gigieng dikarnakan
pusat dan markas perdangangan, sehingga beliau disitu dan dikenang oleh warga
sekitar. Cerita ini tidak banyak orang yang tau dikarnakan minimnya cerita
orang dulu dan tidak ada yang menulis.
Pecahan kecil
piring-pirang dan mangkok yang saya temukan dipesisir pantai Lambada Lhok,
perkiraan saya disinilah jalur perdangangan Kuta Gigieng.
|
Proses
pengangkatan batu nisan Po Meurah yang terjatuh di hantam Tsunami Aceh.
|
Daftar Pustaka
Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda
Aceh Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, ‘Arabesk’, Seri Informasi
kepurbakalaan, Nomor 1 Edisi 19 Januari – Juni 2014
Bang Wan, salah satu warga Lambada Lhok.
Taufit, pecinta sejarah Lambada Lhok.
Miftahuddin Cut Adek, Sekretaris Panglima Laot Aceh
Cek Wadi salah satu warga Lambada Lhok.
Yahwa kasem, salah satu orang tua di Lambada Lhok.
Mak Ni, warga Lambada Lhok sekaligus istri Yahwa Kasem
Bang Mat Nu, salah satu penduduk daerah Lambada Lhok.
http://www.plengdut.com/2012/10/batu-nisan-kaligrafi-dan-seni-pahat.html
[1]
Seri Informasi kepurbakalaan, Arabesk, Balai Pelestarian cagar Budaya Banda
Aceh. Hal 8
[2]
Miftahuddin Cut Adek, Sekretaris Panglima Laot Aceh.
[3]
Bang Wan, salah satu warga Lambada Lhok.
[4]
Taufit, pecinta sejarah Lambada Lhok.
[5]
Miftahuddin Cut Adek, Sekretaris Panglima Laot Aceh
[6]
Cek Wadi salah satu warga Lambada Lhok.
[7]
Yahwa kasem, salah satu orang tua di Lambada Lhok.
[8]
Mak Ni, warga Lambada Lhok sekaligus istri Yahwa Kasem
[9]
Bang Mat Nu, salah satu penduduk daerah Lambada Lhok.
[10]
Miftahuddin Cut Adek, Sekretaris Panglima Laot Aceh
[11]
Yahwa Kasem dan Mak Ni, warga Lambada Lhok.
[12]
Miftahuddin Cut Adek, Sekretaris Panglima Laot Aceh
No comments:
Post a Comment