Sunday 18 September 2016

Pertentangan Antara Ulama dan Uleebalang


Satu hal yang tidak dapat di bantah bahwa dalam mematangkan suasana untuk meletus menjadi peristiwa berdarah pada tanggal 21 September 1953, ialah pertentangan antara Uleebalang dan Ulama, sebelum perang Pasifik meletus telah mengkonsolidasikan diri dalam suatu perkumpupan yang bernama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Sebenarnya pertentangan uni sudah berakar dalam sejarah sejak berabad-abad tetapi terpendam sekian lama di dalam batin kedua golongan ini, sampai kepada beberapa waktu sebelum pecah perang Dunia kedua. Pada waktu itu pertentangan yang sudah berabad-abad itu terpendam muncul menjadi.pertentangan yang terbuka, walaupun belum terjadi sebuah bentrokan.
Untuk dapat kita mengerti dengan jalan pertentangan antara dua golongan ini baiknya saya terangkan secara ringkas arti dan kedudukan Uleebalang dalam Masyarakat Aceh, serta hubungan mereka dengan penduduk, demikian proses dari pertentangan antara kedua golongan ini dalam sejarah Aceh.
Dalam masyarakat Aceh ulama merupakan orang yang disegani karena ilmu yang dimilikinya sehingga menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat untuk menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil keputusan dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang menyangkut kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Di dalam kerajaan aceh yaitu pada masa Ali mungqayatsyah ulama yang menjadi mufti yaitu Hamzah fansuri, masa Sultan Iskandar muda ulama yang menjadi mufti Syamsuddin as-sumantrani, Sultan Iskandar Tsani ulama yang menjadi mufti Nurdin Ar-Raniry dan Ratu Safiatuddin ulama yang menjadi mufti syekh abdu rauf As-Singkili. Semua mereka adalah ulama yang mempunyai tugas sebagai penasehat atau yang memberi bimbingan kepada raja dikala raja mengambil sebuah keputusan. Keputusan tersebut berlaku dalam segala bidang, baik dalam pemerintahan, pogram-pogram dan adat-istiadat. Disamping itu hubungan ulama di dalam masyarakat sangat dekat emosionalnya dari pada umara. Kedekatan tersebut di pengaruhi oleh ilmunya yang tinggi dan ulama juga lebih mengerti tentang keadaan masyarakat. Sementara kalau ditingkat desa, ulama berperan sebagai penasehat bagi pemimpin desa (gheuchik), yang memberi pendidikan/ guru agama buat masyarakat, yang mengatur pembagian zakat, yang menikahkan setiap pasangan ketika kawin, mendamaikan orang yang bertengkar juga sebagai orang yang memandikan mayyit dikala ada salah seorang dari warga masyarakat yang meninggal. Jadi kalau kita melihat dari peran ulama di atas, ulama sangat besar kewajibanya di bandingkan umara dalam hubungan sosial kemasrakatan. Dalam mewujudkan sebuah pembangunan atau urusan kesejahtraan masyarakat antara ulama dan pemimpin saling bekerja sama, hal ini dapat kita lihat pada ulama-ulama dalam abad ke 19. Dalam bidang pertanian yaitu Teungku Chik di pasi, Teungku di Bambi, Teungku Chik di Ribee dan Teungku di Trueng Campli, mereka ini telah membangun irigasi dan lueng  (saluran), sehingga areal persawahan di Pidie mendapat pengairan.

Mengenai Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara bagian. Seperti di kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir. Sebelum masuknya Belanda ke Aceh, sistem berokrasi pemerintahan memeliki corak sistem Negara bagian/ Otonom. Dimana Aceh terdiri dari Negara-negara kecil, seperti yang tersebut di  atas, namun tetap tunduk dan berada di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di banda Aceh. Uleebalang adalah wakil Sultan di Negerinya. Namun dalam posisi sebagai kepala Negeri, yang diterima secara turun temurun menurut adat ia merupakan raja di Negerinya. Dalam bidang tetentu ia mempunyai hak otonom yang seluas luasnya yang diserahkan kepadanya oleh sultan. Akan tetapi semenjak terjadinya hubungan dengan para pedagang eropa melalui perdagangan, para pedagang ini tidak saja berhubungan dengan sultan, melainkan juga ada yang berniaga langsung dengan raja-raja kecil di pantai utara dan barat. Kadang kala hubungan dagang itu terjadi antara saudagar Aceh dengan pedagang dari Barat. Dalam hal demikian para uleebalang berfungsi sebagai pemungut cukai. Memang secara de jure, uleebalang diangkat dengan surat pengangkatan ( Sarakata) dari sultan yang di bubuhi cap sikureung.  Sarakata ini dinilai tinggi bagi kedudukan dan dianggap sebagai sumber pelindungan dari uleebalang terhadap rakyatnya. Secara fungsi, dalam buku Perang Dijalan Allah, uleebalang bertugas menjalankan pemerintahan, politik dan juga pemilik modal dengan sebutan Peutua Pangkai yang meminjamkan uang kepada para petani melalui perantara yang disebut Peutua Seuneubok para uleebalang juga berdagang dengan luar negeri. Berdasarkan sarakata mereka bebas dalam import dan eksport barang-barang dari pelabuhanya. Namun lambat laun mereka menyalah gunakan sarakata yang diberikan sultan kepadanya. Uleebalang juga memaksa masyarakat untuk menjualkan lada-lada tersebut ke pihak nya dengan harga murah dan mereka menjualnya ke penang dengan harga lebih mahal. Secara tidak langsung ini meruapakan monopoli dagang terhadap masyarakat. mereka membuat masyarakat sangat menderita demi tercapainya kepentingan mereka.disamping itu mereka juga menjadi tangan kanan belanda dalam menumpaskan gerilyawan gerilyawan di aceh. Bahkan mereka memamaksa uleebalang-uleebalang yang masih memperjuangkan kemerdekaan untuk menyerah dan bergabung bersama belanda, seperti yang dilakukan Habib Abdurrahma.

No comments:

Post a Comment