A. HUKUM ISLAM DI ACEH, SKETSA HISTORIS
Istilah hukum Islam sendiri terdiri
dari dua suku kata yang berasal dari
bahasa Arab yakni kata hukum dan kata Islam. Kata hukum berarti
ketentuan dan
ketetapan. Sedangkan kata Islam terdapat dalam Al-Qur’an,
yakni kata
benda yang berasal dari kata kerja “salima” selanjutnya menjadi Islam yang berarti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, atau penyerahan
(diri) dan kepatuhan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam secara etimologis adalah
segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai sesuatu hal di mana ketentuan
itu telah diatur dan ditetapkan oleh Agama Islam.
Secara sederhana hukum
adalah “Seperangkat peraturan tentang tingkah
laku
manusia yang
diakui sekelompok
masyarakat; disusun
orang-orang
yang diberi
wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”.
Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam
berarti: “Peraturan yang
mempunyai kekuatan yang
mengikat,
baik di dunia maupun di akhirat yang berdasarkan wahyu Allah SWT (Al-qur’an) dan sunah Rasulullah SAW (Al-hadits) tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum
yang diakui
dan diyakini mengikat semua
yang beragama Islam”.Secara lebih rinci,
Hukum
Islam
adalah
ketetapan
yang telah ditentukan oleh
Allah SWT berupa aturan dan larangan bagi umat muslim.
Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan
adat dan Islam sebagai
unsur yang dominan dalam
mengendalikan gerak
masyarakat. Agama Islam
telah
membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa
awal penyebarannya keluar jazirah Arab.1
Nilai-nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup bagi
masyarakat Aceh. B.J Bollan, seorang antropolog Belanda mengatakan, menjadi
orang Aceh telah identik dengan orang
Muslim. Pengaruh
hukum
Islam terhadap
hukum
adat telah meliputi semua
bidang hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat
telah
melebur menjadi satu
hukum.
Adapun
yang masih dipegang masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum bak Syah Kuala, qanun bak Putro
Pahang, reusum bak Laksamana”.2
Hal ini sesungguhnnya mengandung makna pembagian kekuasaan dalam
kesultanan Aceh Darussalam, kekuasaaan politik dan adat ada ditangan sultan (Po Teummeurehum), keuasaan pelaksanaan hukum berada ditangan ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang ada ditangan
Putro Pahang, dan peraturan
protokeler
(Reusam)
berada
ditangan laksamana (panglima perang di
Aceh).3
Rakyat Aceh sangat bersemangat, sangat serius dan
tidak mengenal
lelah
untuk
mengupayakan pelaksanaan
syari`at di
tengah masyarakat Aceh,
atau dengan istilah lain yang lebih sempit lagi sangat serius mengupayakan kehadiran hukum positif
Aceh
yang berdasarkan syari`at
Islam. Paling kurang ada
dua
alasan yang sering dinyatakan
oleh para penceramah, para ulama serta para akademisi dan cendekiawan muslim di Aceh.
Pertama,
rakyat
Aceh ingin
hidup dalam naungan syari`at Islam secara penuh. Dengan kata lain bukan hanya sekedar menjalankan ibadat, tetapi juga
1 Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam
M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), h. xxxi.
2 Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum
Pidana
Nasional dari Aceh Untuk
Indonesia (Bandung: Unpad Press, 2009), h. 38.
3 Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan (Tangerang Selatan: LSIP, 2014), h. 70-72.
menjalankan aturan syari`at di bidang hukum
kekeluargaan
(perkawinan, hubungan nasab dan kekerabatan,
perceraian,
harta
bersama, dan kewarisan), bidang perdata keharta-bendaan dan perikatan serta bidang
pidana dan bahkan bidang-bidang hukum lainnya, sehingga pada saatnya nanti
setelah melewati berbagai tahapannya (pelibatan
pemerintah/negara untuk melaksanakan
syari`at akan dilaksanakan secara bertahap) rakyat Aceh akan berada di
bawah naungan
Islam secara menyeluruh.
Rakyat Aceh ingin hidup di bawah naungan hukum berdasar syari`at sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum yang akan wujud nanti
adalah bagian dari nilai-nilai
yang ingin
ditegakkan oleh
ajaran dan
tuntunan Islam sebagai
sebuah agama ataupun pandangan hidup (way of life).
Kedua, ingin membuktikan bahwa ajaran Islam yang diyakini bersifat
universal dan abadi masih dapat dilaksanakan pada masa sekarang dan dapat
memenuhi semua
kebutuhan dan
bahkan
mampu bersaing
dengan norma dan
aturan hukum yang ada sekarang. Masyarakat Aceh ingin menunjukkan bahwa
ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad empat belas abad yang lalu di Tanah Arab, dan sudah dipeluk oleh masyarakat Aceh sejak ratusan tahun
terakhir, yang mereka yakini sudah pernah dilaksanakan secara relatif sempurna dan bahkan sudah menyatu dengan adat
sedemikian rupa
dalam sebuah kurun
waktu, (pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, sebelum kedatangan penjajahan
Belanda) apabila dipahami secara baik, cerdas dan sungguh-sungguh akan dapat
pula memenuhi kebutuhan masyarakat
Aceh sekarang (dan masa depan), serta mampu menjadikan mereka merasa
lebih sejahtera dan bahagia
dan bahkan
mampu meningkatkan kualitas keberadaan mereka ke tingkat yang lebih baik dari
keadaan sekarang.4
Menurut Arskal Salim
ada
beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan
Islam
sebagai identitasnya.
Pertama, sejarah mencatat bahwa
perkembangan Islam di Indonesia diawali dari Aceh, hal ini sesuai dengan apa
4 Alyasa’ Abu Bakar, “Sejarah Pelaksanaan
Syari`at Islam Di Aceh” h ttp:/ /
alyasa abubakar.com/2017/03/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/ ( Diakses Pada Tanggal
20
Maret 2017).
yang terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Peurlak (Aceh Timur) dan
menggambarkan bahwa kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada tahun
1292.
Kedua, kerajaan
Islam pertama
di Indonesia
didirikan di Aceh, hal ini
dibuktikan dengan penemuan batu nisan Raja Samudra
Sultan Malik as- Salih
yang tercatat
pada tahun
1927.
Menurut
Ricklefs
penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia berada di Aceh.
Ketiga adalah
sejarah
penerapan
syariat
Islam di Aceh yang
memiliki sejarah yang
sangat
panjang, proses sejarah
inilah
yang menjadi motivasi bagi masyarakat Aceh untuk menjadikan Islam sebagai identitasnya.5
Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh,
dapat
dilihat dari faktor-faktor
yang mempengaruhi
kebudayaan
itu
sendiri.
Dalam kenyataannya budaya
Aceh
telah
beratus-ratus
tahun dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, pengaruh ini telah masuk kedalam semua sendi kehidupan masayarakat
Aceh, mulai dari siasat peperangan, kesenenian, pergaulan masyarakat, pendidikan dan pengajaran sampai
kepada kehidupan sosial masyarakat lainnya.6
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan masyarakat Aceh sangat identik dengan Islam, walaupun sekarang dunia telah memasuki
abad ilmu pengetahuan dan demokrasi, tetapi masyarakat Aceh tetap mengakui
ajaran agama Islam sebagai bagian dari kehidupannya.
Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam Di Aceh
Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat
untuk
melaksanakan syariat Islam di Aceh.
Presiden Soekarno tiba
di
lapangan terbang Loknga Banda Aceh pada tanggal 16
Juni 1948. Setelah ke
5 Arskal Salim,“Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity
And The Right To Self-Determination With Comparative Reference To
The Moro
Islamic Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf), h. 83
6 Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua (Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), h. 38-39.
datangan ini, dalam
suatu pertemuan dengan beberapa
tokoh Aceh, atas permintaan Abu Beureueh, Soekarno menyatakan: “Biarlah
rakyat Aceh mengatur daerahnya
sendiri berdasarkan
syari’at Islam.” Tetapi
ketika Abu
Beureueh meminta beliau menuliskan pernyataan
atau keizinan ini, Soekarno keberatan dan menitikkan air mata, karena Abu Beureueh meragukan ketulusan beliau.
Dalam
kunjungan ini pulalah Soekarno meminta agar saudagar Aceh membeli pesawat terbang
dan
menghadiahkannya kepada Pemerintah,
yang langsung dipenuhi oleh para saudagar Aceh dengan menghadiahkan emas seberat
50 kg. untuk membeli
dua pesawat terbang Dakota. Pada waktu ini pulalah
Soekarno menyebut Aceh sebagai
daerah modal, yang sering digunakan sampai sekarang.
Abu Beureueh dalam
pernyataan bertanggal 4 Nopember 1961, yang diberi
judul ”DA`WAH” (pernyataan ini merupakan lampiran dari surat yang beliau tulis dalam
dalam kedudukan sebagai Wali
Negara Republik Islam Aceh, dan
dikirimkan kepada Jenderal
A.H. Nasution, Menteri
Keamanaan Nasional/KSAD) secara jelas menyatakan bahwa Soekarno sebagai Presiden pernah menyampaikan janji tersebut, yang lengkapnya penulis kutipkan sebagai berikut:
”Janji Presiden/Panglima tertinggi
di hadapan para alim UlamaAceh di Kutaraja pada tahun 1947, yang akan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh
untuk
hidup
dan mengatur
kehidupan
masyarakatnya sesuai
dengan syari’at agama mereka.”7
Dilihat dari sudut pandang tujuan dari
pemberlakuan syariat Islam di Aceh
memiliki dua sisi
yang berbeda, Pertama; sisi
ke–Indonesiaan, yaitu pemberlakuan
syariat Islam di
Aceh ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri
dari Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Dari sisi ini
dapat dilihat
bahwa proses-proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan
alamiah,
tapi
lebih merupakan suatu
move dan kebijakan politik
dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI.
7 Alyasa’ Abu
Bakar, “Sejarah Pelaksanaan
Syari`at Islam Di Aceh” h ttp:/ / alyasa abubakar.com/2017/03/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/
(
Diakses
Pada
Tanggal 20
Maret 2017).
Penerapan syariat Islamya pada
tahap
ini, yakni untuk meminimalisir
ketidak puasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat,
dan lebih
merupakan political, langkah
politik darurat, untuk menyelamatkan
Aceh dalam
pangkuan republik, yang bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis
bagi masyarakat Aceh.
Kedua; gagasan atau tujuan
dari rakyat
Aceh. Artinya bahwa
pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah
lama terpendam
sejak zaman
DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud
Beureueh.
Untuk
menwujudnkan
tujuan-tujuan
tersebut Pemerintah
Indonesia Melaui
DPR-RI telah mensahkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
yang mengatur
pelaksanaan untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada Tahun 1959. Setelah itu,
disahkan pula
Undang-undang
Nomor 18 Tahun
2001
tentang
Otonomi
Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nangro
Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-undang ini, kepada Aceh diberikan
Peradilan
Syariat Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syariah, yang
kewenangannya ditetapkan oleh Qanun.
B. HUKUM
ISLAM DAN
PERUBAHAN
SOSIAL MASYARAKAT DI ACEH
Provinsi Aceh
adalah satu-satunya provinsi
dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca Orde Baru yang diberikan payung hukum untuk menerapkan
syariat
Islam secara
”kaffah” dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemberian
itu
didasarkan
pada Undang-undang Nomor: 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh
sebagai terobosan politik yang terjadi di era reformasi untuk merebut kembali kepercayaan
rakyat kepada pemerintah
dan penyelesaian konflik yang
telah
berlarut-larut secara mendasar, damai dan bermartabat.
Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Daerah Istimewa Aceh yang
memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.8
Sebetulnya masyarakat Aceh menyadari
betul bahwa syari`at Islam bukan hanya fiqih (hukum), tetapi
jauh lebih luas
dari itu melingkupi
misalnya
pendidikan, ekonomi, sosial, adat istiadat dan tata pemerintahan pada tingkat gampong serta budaya
(seni) dan
masih
banyak lagi
yang lainnya.
Karena keyakinan ini maka upaya pelaksanaan syari`at
dilakukan juga dalam berbagai bidang yang sudah disebutkan di atas, seperti pengelolaan zakat secara profesional dan
upaya perlindungan yang lebih baik atas anak yatim
termasuk harta kekayaannya.
Dalam
kaitan dengan perempuan, semua ulama Islam
sepakat bahwa Al- qur’an
sebagaimana tercantum dalam
banyak ayatnya secara jelas mengangkat
derajat perempuan dari kedudukan yang rendah dan hina dalam adat jahiliah Arab ke tingkat yang lebih tinggi dan terhormat.
Al-qur’an mengakui adanya perbedaan yang bersifat fitrah antara laki-laki
dan
perempuan,
seperti kehamilan dan menyusui; tetapi perbedaan ini menurut Al-qur’an tidaklah menjadikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Dalam hal-
hal
yang tidak bersifat fitrah, katakanlah di bidang budaya atau gender Al-qur’an
cenderung menganggap laki-laki dan perempuan
adalah sederajat kecuali dalam
beberapa hal yang disebutkan secara jelas oleh Al-qur’an, seperti izin poligami bagi laki-laki dan hak warisan yang tidak sama antara anak laki-laki
dengan anak perempuan.
Dalam masyarakat Aceh yang ”lebih tradisional” (pedesaan, belum terbuka ) Kebersamaan dan pembagian tugas ini terlihat lebih jelas. Suami dan isteri sama-sama pergi bekerja ke kebun, sawah atau tambak dan mereka membagi
pekerjaan dengan cara tertentu. Untuk tugas domestik, suami pergi berbelanja dan
8 Muhibbuthabry, “Kelembagaan Wilayat Al-Hisbah dalam Konteks Penerapan Syariat
Islam di Provinsi Aceh”, Peuradeun, Vol. II, No. 02 (Mei 2014), 10.
isteri memasak. Sedang untuk pakaian sering masing-masing mereka mencuci dan
merawatnya sendiri.
Dalam masyarakat Aceh
ada beberapa aturan yang mengatur
hubungan
antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak
perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak
mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik
antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.
Adapun
upaya pengendalian
terhadap perilaku yang
menyimpang dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu cara
preventif dan refresif.
Usaha yang
disebutkan pertama dapat
dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal
dan
informal
serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan
melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang
dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Adat istiadat yang berupa kebiasaan seremonial/upacara, prilaku ritualitas, estetika/keindahan, apresiasi
seni tari,
seni suara, seni
lukis, relief/ motif bangunan pisik, pakaian dan makanan ( bernilai ritual
dan
komersial ). Sedangkan
nilai normatif/prilaku tatanan (hukum
adat), yaitu materi
norma/aturan dan
bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran yang berlaku
untuk ketertiban masyarakat. “Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon
adat”. ”Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom
binasa”.
”Taduk ta muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak
punca”. “Tanoh leumik keubeu meukubang, leumoh
goe parang
goeb panglima”.
”Salah bak hukom raya akibat, salah bak adat malee”.
Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan.
Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial
yang wajar.
Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan-perubahan akan tampak setelah tatanan sosial dan kehidupan
masyarakat desa, dapat dibandingkan antara sebelum dan setelah mengenal surat
kabar, listrik, televisi, internet, telepon, HP dan perangkat IT lainnya.
Pada era globalisasi sekarang ini tuntutan kebutuhan masyarakat yang
semakin tinggi, berdampak pada kecenderungan manusia untuk bergaya hidup
matrealisme, konsumerisme dan hedonisme, kecenderungan
akan
kekerasan, penggunaan
narkoba
dan arus informasi yang semakin maju
pesat.
Dalam hal
inilah
agama diharapkan
dapat menjalankan perannya dengan
baik di
masyarakat
untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul
dalam masyarakat di era globalisasi sekarang ini.
Perubahan-perubahan sosial dan
kebudayaan tersebut
merupakan perubahan fungsi sosial
dan masyarakat yang
menyangkut
perilaku
manusia dalam
masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahan-perubahan
dalam pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
pola-pola
perilaku,
organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan, perpolitikan, bahkan berlaku juga dalam bidang keagamaan.
Perilaku keagamaan, terindikasi
bahwa masyarakat asli
Aceh sekarang ada yang berpindah dari agama Islam ke
ajaran agama lain atau aliran-aliran yang
telah
dinyatakan sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), seperti aliran Millata Abraham, Ahmadiyah, Syiah, Mukmin Mubaliq dan lainnya. Perubahan-
perubahan
sosial dan kebudayaan tersebut selalu berkaitan
dengan ekonomi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam suatu lembaga
kemasyarakatan akan mengakibatkan pula perubahan dalam lembaga
kemasyarakatan lainnya. Karena itulah, dalam
lembaga-lembaga kemasyarakatan
tersebut selalu ada proses saling mempengaruhi secara timbal balik.
Realitas kekinian remaja putri
tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi
mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda
dunia. Konsep
cantik
bagi
wanita
sekarang
amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh
generasi sebelumnya. Konsep
cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula
dipengaruhi budaya luar.
Kedua
aspek tersebut
akan
menjadi
referensi remaja dalam
berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas
dibandingkan generasi di
atas mereka.
Gaya busana mereka lebih memilih
baju-
baju kasual untuk kegiatan
sehari-hari mereka.
Terdapat
empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang,
yaitu gaya busana ke sekolah, gaya
busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana
pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada
beberapa jenis, seperti celana
ketat/jeans, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.
Remaja putri
di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak
ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin
dikatakan melupakan akarnya (pakai
jilbab). Sehingga remaja ini
memakai jilbab tetapi pakaian mereka
menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan
demikian, ada perpaduan
antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, seperti jilbab yang
dihiasi dengan lipstik tebal,
lekuk
tubuh
yang menantang mata, dan
perilaku
agresif.
DAFTAR PUSTAKA
Yusni, Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem
Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh. Yogyakarta: Grafindo Litera Media,
2012.
B. J., Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Leiden: The
Hague-Martinus Nijhoff, 1982.
Alyasa’, Abu Bakar, “Sejarah
Pelaksanaan Syari`at
Islam
Di
Aceh”
Muhibbuthabry. “Kelembagaan
Wilayat Al-Hisbah dalam Konteks
Penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh”. Peuradeun. Vol. II.
No. 02
(Mei
2014).
Arskal, Salim,
“Shari’a From Below’ In
Aceh (1930s–1960s):
Islamic Identity And The Right To Self-Determination With Comparative Reference To
The
Moro Islamic Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92,
March 2004 Front (Milf).