Friday, 17 November 2017

HUKUM ISLAM DI ACEH, SKETSA HISTORIS

A HUKUM ISLAM DI ACEH, SKETSA HISTORIS


Istilah hukum Islam sendiri terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab yakni kata hukum dan kata Islam. Kata hukum berarti ketentuan dan ketetapan.  Sedangkan  kata  Islam terdapat  dalam Al-Quran,  yakni kata  benda yang berasal dari kata kerja salima selanjutnya menjadi Islam yang berarti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, atau penyerahan (diri) dan kepatuhan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam secara etimologis adalah segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai sesuatu hal di mana ketentuan itu telah diatur dan ditetapkan oleh Agama Islam.

Secara sederhana hukum adalah Seperangkat peraturan tentang tingkah laku  manusia  yang  diakui  sekelompok  masyarakat;  disusun  orang-orang  yang diberi   wewenan ole masyaraka itu;   berlaku   mengikat untuk   seluruh anggotanya”.

Bila definisi ini dikaitkan  dengan Islam atasyara maka hukum Islam berarti:  Peraturan  yang  mempunyai  kekuatan  yang  mengikat,  baik  di  dunia maupun di akhirayang berdasarkan wahyu Allah SWT (Al-quran) dan sunah Rasulullah SAW (Al-hadits) tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum yang  diakui  dan  diyakinmengikat  semua  yang  beragama  Islam.Secara  lebih rinci,  Hukum  Islam  adalah ketetapan  yang  telah  ditentukan  oleh  Allah  SWT berupa aturan dan larangan bagi umat muslim.



Dari sudut  sosiobudaya, masyarakat  Aceh pada dasarnya menampilkan ada dan   Islam  sebagai  unsur   yan dominan  dalam  mengendalikan   gerak masyarakat. Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya keluar jazirah Arab.1

Nilai-nilai hukum   dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan   pandaga hidup   bagi   masyaraka Aceh B. Bollan seorang antropolog Belanda mengatakan, menjadi orang Aceh telah identik dengan orang Muslim.  Pengaruh  hukum  Islaterhadap  hukum  adat  telah  meliputi  semua bidang hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah  melebur  menjadi  satu  hukum.  Adapun  yang  masih  dipegang  masyarakat Aceh, adat bak po teummeurehum, hukum bak Syah Kuala, qanun bak Putro
Pahang, reusum bak Laksamana”.2

Hal ini sesungguhnnya mengandung makna pembagian kekuasaan dalam kesultanan Aceh Darussalam, kekuasaaan politik dan adat ada ditangan sultan (Po Teummeurehum), keuasaan pelaksanaan hukum berada ditangan ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang ada ditangan Putro Pahang, dan peraturan  protokeler  (Reusam)  berada  ditangalaksamana (panglima perang di
Aceh).3

Rakyat Aceh sangat bersemangat, sangat serius dan tidak mengenal lelah untuk  mengupayakan  pelaksanaan  syari`at  di  tengah  masyarakat  Aceh,  atau dengan istilah lain yang lebih sempit lagi sangat serius mengupayakan kehadiran hukum  positif  Aceh  yang  berdasarkan  syari`at  Islam.  Paling  kurang  ada  dua alasan yang sering dinyatakan oleh para penceramah, para ulama serta para akademisi dan cendekiawan muslim di Aceh.
Pertama,  rakyat  Aceingin  hidup  dalam naungasyari`at  Islam secara penuh Dengan kata lain bukan hanya sekedar menjalankan ibadat, tetapi juga



1   Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), h. xxxi.

 Mohd.  Din,  Stimulasi  Pembangunan  Hukum  Pidana  Nasional  dari  Aceh  Untuk
Indonesia (Bandung: Unpad Press, 2009), h. 38.
3  Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan (Tangerang Selatan: LSIP, 2014),    h. 70-72.



menjalanka atura syari`a di   bidan hukum   kekeluargaa (perkawinan, hubunganasab  dan  kekerabatan,  perceraian,  harta  bersama,  dan  kewarisan), bidang perdata keharta-bendaan dan perikatan serta bidang  pidana dan bahkan bidang-bidang hukum lainnya, sehingga pada saatnya nanti setelah melewati berbagatahapannya  (pelibatan  pemerintah/negara  untuk  melaksanakan  syari`at akan dilaksanakan secara bertahap) rakyat Aceh akan berada di bawah naungan Islam secara menyeluruh.

Rakyat Aceh ingin hidup di bawah naungan hukum berdasar syari`at sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum yang akan wujud nanti adalah bagian darnilai-nilai  yang  ingin  ditegakkan  oleh  ajaran  dan  tuntunan  Islam  sebagai sebuah agama ataupun pandangan hidup (way of life).

Kedua, ingin membuktikan bahwa ajaran Islam yang diyakini bersifat universal dan abadi masih dapat dilaksanakan pada masa sekarang dan dapat memenuhsemua  kebutuhan  dan  bahkan  mampu  bersaing  dengan  norma  dan aturan hukum yang ada sekarang. MasyarakaAceh ingin menunjukkan bahwa ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad empabelas abayang lalu di Tanah Arab, dan sudah dipeluk oleh masyarakat Aceh sejak ratusan tahun terakhir, yang mereka yakini sudah pernah dilaksanakan secara relatif sempurna dan bahkan sudamenyatu  dengaadat  sedemikian rupa  dalam sebuah  kurun waktu, (pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, sebelum kedatangan penjajahan Belanda) apabila dipahami secara baik, cerdas dan sungguh-sungguh akan dapat pula memenuhi kebutuhan masyarakat  Acesekaran(dan masa depan),  serta mampu  menjadikamereka  merasa  lebisejahtera  dabahagia  dabahkan mampu meningkatkan kualitas keberadaan mereka ke tingkat yang lebih baik dari
keadaan sekarang.4


Menurut Arskal  Salim  ada   beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan  Islam  sebaga identitasnya.    Pertama sejara mencatat    bahwa
perkembangan Islam di Indonesia diawali dari Aceh,  hal ini sesuai dengan apa



4   Alyasa Abu Bakar, Sejarah  Pelaksanaan  Syari`at Islam Di Aceh h ttp:/ /  alyasa abubakar.com/2017/03/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/  (  Diakses  Pada  Tanggal  20
Maret 2017).



yang terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Peurlak (Aceh Timur) dan menggambarkan bahwa kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada tahun
1292.

Kedua,  kerajaan  Islam pertama  di  Indonesia  didirikan  di Aceh,  haini dibuktikan dengan penemuan batu  nisan Raja Samudra  Sultan Malias-  Salih yantercatat  pada  tahun  1927.  Menurut  Ricklefs  penemuan  ini  menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia berada di Aceh.
Ketiga  adalah  sejarah  penerapan  syariat  Islam  di  Aceh  yang  memiliki sejarah  yang  sangat  panjang,  proses sejarah  inilah  yang  menjadi  motivasi  bagi masyarakat Aceh untuk menjadikan Islam sebagai identitasnya.5
Untuk  melihat  bagaimana sebenarnya  budaya orang  Aceh,  dapat  dilihat darfaktor-faktor  yang  mempengaruhi  kebudayaan  itu  sendiri.  Dalam kenyataannya  budaya  Aceh  telah  beratus-ratus  tahun  dipengaruholeh  ajaran agam Islam pengaruh   ini  tela masuk   kedalam   semua   sendi   kehidupan masayarakat   Aceh mulai   dari   siasa peperangan kesenenian pergaulan masyarakat pendidika da pengajara sampai   kepada   kehidupa sosial masyarakat lainnya.6
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan masyarakat Aceh sangat identik dengan Islam, walaupun sekarang dunia telah memasuki abad ilmu pengetahuan dan demokrasi, tetapi masyarakat Aceh tetap mengakui ajaran agama Islam sebagai bagian dari kehidupannya.


Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam Di Aceh


Upay pelaksanaa syaria Islam   di  Aceh dapa dikataka bahwa pemimpin Aceh sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat  untuk  melaksanakan  syariat  Islam  di  Aceh.  Presiden  Soekarno  tiba  di
lapangan terbang  Loknga Banda Aceh pada tanggal 16  Juni 1948.  Setelah ke



5 Arskal Salim,Shari’a From Below In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And The Right To Self-Determination With Comparative Reference To The Moro Islamic Liberation, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf), h. 83
6  Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua (Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), h. 38-39.



datangan   ini dalam  suat pertemuan   dengan   beberapa   tokoh   Aceh atas permintaan Abu Beureueh, Soekarno menyatakan: Biarlah rakyat Aceh mengatur daerahnya  sendirberdasarkan  syariat  Islam. Tetapi  ketika  Abu  Beureueh meminta beliau menuliskan pernyataan atau keizinan ini, Soekarno keberatan dan menitikkan air mata, karena Abu Beureueh meragukan ketulusan beliau.

Dalam kunjungan ini pulalah Soekarno meminta agar saudagar Aceh membeli  pesawa terbang  dan  menghadiahkannya  kepada  Pemerintah,   yang langsung dipenuhi oleh para saudagar Aceh dengan menghadiahkan emas seberat
50 kg. untuk membeli dua pesawat terbang Dakota. Pada waktu ini pulalah Soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal, yang sering digunakan sampai sekarang.

Abu Beureueh dalam pernyataan bertanggal 4 Nopember 1961, yang diberi judul DA`WAH” (pernyataan ini merupakan lampiran dari surat yang beliau tulis dalam  dalam  keduduka sebagai  Wali  Negara   Republi Islam  Aceh dan dikirimkan kepada Jenderal A.H. Nasution, Menteri Keamanaan Nasional/KSAD) secara jelas menyatakan bahwa Soekarno sebagai Presiden pernah menyampaikan janji tersebut, yang lengkapnya penulis kutipkan sebagai berikut:

Janji Presiden/Panglima tertinggi di hadapan para alim UlamaAceh di Kutaraja pada tahun 1947, yang akan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk  hidup  dan  mengatur  kehidupan  masyarakatnya  sesuai  dengan  syariat agama mereka.7

Dilihat dari sudut pandang tujuan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki dua sisi yang berbeda, Pertama; sisi keIndonesiaan, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia.  Darsisini  dapat  dilihat  bahwa proses-proses pemberlakuan syariaIslam di Aceh bukanlah suatu  proses yang genuine  dan  alamiah,  tapi  lebih merupakan suatu  move  dan kebijakan politik
dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI.


7  Alyasa Abu  Bakar, Sejarah  Pelaksanaan  Syari`at Islam Di  Aceh h ttp:/ /  alyasa abubakar.com/2017/03/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/  (  Diakses  Pada  Tanggal  20
Maret 2017).



Penerapan  syariat  Islamya  pada  tahap  ini,  yakni  untuk  meminimalisir ketidak puasan Aceh terhadap  kebijakan-kebijakan pemerintah pusat,  dan lebih merupakan political, langkah politik darurat, untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh.

Kedua; gagasan atau  tujuan  dari rakyat  Aceh.  Artinya  bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah lama terpendam sejak zaman DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh.

Untuk menwujudnkan tujuan-tujuan tersebut Pemerintah Indonesia Melaui DPR-RI telah mensahkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada Tahun 1959. Setelaitu,  disahkan  pula  Undang-undang  Nomor  18  Tahun  2001  tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-undang ini, kepada Aceh diberikan Peradilan Syariat Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syariah, yang kewenangannya ditetapkan oleh Qanun.



B.  HUKUM  ISLAM  DAN  PERUBAHAN  SOSIAL  MASYARAKAT  DI ACEH

Provinsi   Ace adala satu-satuny provinsi   dalam   wilaya Negara Kesatuan   Republik Indonesia (NKRI) pasca Orde Baru yang diberikan payung hukum untuk  menerapkan  syariat  Islam secara  kaffah dalam berbagaaspek kehidupan.  Pemberian  itu  didasarkan  pada  Undang-undang  Nomor:  44  Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai terobosan politik yanterjadi di era reformasi untuk  merebut  kembali kepercayaarakyat  kepada  pemerintah  dan  penyelesaian  konflik  yang  telah berlarut-larut secara mendasar, damai dan bermartabat.



Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi DaeraIstimewa  Aceh  yang  memberikalandasan  yuridis  bagi  pelaksanaan syariat Islam di Aceh.8

Sebetulnya masyarakat Aceh menyadari betul bahwa syari`at Islam bukan hany fiqih  (hukum) tetapi  jauh   lebih  luas   dari  it melingkupi  misalnya pendidikan, ekonomi, sosial, adat istiadat dan tata pemerintahan pada tingkat gampong  serta  budaya  (seni)  dan  masih  banyak  lagi  yang  lainnya.  Karena keyakinaini maka  upaya  pelaksanaasyari`at  dilakukajuga  dalaberbagai bidang yang sudah disebutkan di atas, seperti pengelolaan zakat secara profesional dan upaya perlindungan yang lebih baik atas anak yatim termasuk harta kekayaannya.

Dalam kaitan dengan perempuan, semua ulama Islam sepakat bahwa Al- quran sebagaimana tercantum dalam banyak ayatnya secara jelas mengangkat derajat perempuan dari kedudukan yang rendah dan hina dalam adat jahiliah Arab ke tingkat yang lebih tinggi dan terhormat.

Al-quran mengakui adanya perbedaan yang bersifat fitrah antara laki-laki dan perempuan,  seperti kehamilan dan menyusui; tetapi perbedaan ini menurut Al-quran tidaklah menjadikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Dalam hal- hal yang tidak bersifat fitrah, katakanlah di bidang budaya atau gender Al-quran cenderung menganggap laki-laki dan perempuan adalah sederajat kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan secara jelas oleh Al-quran, seperti izin poligami bagi laki-laki dan hak warisan yang tidak sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

Dalam   masyaraka Ace yan lebi tradisional”   (pedesaan belum terbuka ) Kebersamaan dan pembagian tugas ini terlihat lebih jelas. Suami dan isteri sama-sama pergi bekerja ke kebun, sawah atau tambak dan mereka membagi
pekerjaan dengan cara tertentu. Untuk tugas domestik, suami pergi berbelanja dan





8  Muhibbuthabry, Kelembagaan Wilayat Al-Hisbah dalam Konteks Penerapan Syariat
Islam di Provinsi Aceh, Peuradeun, Vol. II, No. 02 (Mei 2014), 10.



isteri memasak. Sedang untuk pakaian sering masing-masing mereka mencuci dan merawatnya sendiri.

Dalam masyarakat  Aceada beberapa aturayanmengatur  hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitanny denga remaj putri seoran ibu/aya mal apabila       anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.

Adapun  upaya  pengendalian  terhadap  perilaku  yang  menyimpang  dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif.  Usaha yang  disebutkan pertama dapat  dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan   usah kedua   dapa dilakukan   melalui   penjatuhan   sanksi   adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Adat istiadat yang berupa kebiasaan seremonial/upacara, prilaku ritualitas, estetika/keindahan,   apresiasi  seni  tari,   seni  suara,   seni  lukis,   relief motif bangunan pisik, pakaian dan makanan ( bernilai ritual dan komersial ). Sedangkan nilanormatif/prilaku  tatanan  (hukum  adat),  yaitu  materi  norma/aturan    dan bentuk   sanksi-sanksi   terhada pelanggar-pelanggara yan berlaku   untuk ketertiban masyarakat. Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat. Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa.
”Taduk ta muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak punca. “Tanoh leumik keubeu  meukubang,  leumoh  goe  parang  goeb  panglima”.  Salah  bak hukom raya akibat, salah bak adat malee.

Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan-perubaha aka tampa setela tatana sosia da kehidupan



masyarakat desa, dapat dibandingkan antara sebelum dan setelah mengenal surat kabar, listrik, televisi, internet, telepon, HP dan perangkat IT lainnya.

Pada era globalisasi sekarang ini tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, berdampak pada kecenderungan manusia untuk bergaya hidup matrealisme, konsumerisme dan hedonisme, kecenderungan akan kekerasan, penggunaanarkoba  dan  arus  informasyang  semakimaju  pesat.  Dalahal inilah agama diharapkan dapat menjalankan perannya dengan baik di masyarakat untuk   mengatas masalah-masala yan timbul   dala masyaraka di   era globalisasi sekarang ini.

Perubahan-perubahan  sosial  dan  kebudayaan  tersebut  merupakan perubahan  fungssosial  dan  masyarakat  yang  menyangkut  perilaku  manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahan-perubahan dalam pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola  perilaku,  organisassosial,  lembaga-lembaga  kemasyarakatan, stratifikasi   sosial kekuasaan tanggun jawab kepemimpinan perpolitikan, bahkan berlaku juga dalam bidang keagamaan.

Perilaku keagamaan, terindikasi bahwa masyarakat asli Aceh sekarang ada yanberpindah dari agama Islam ke  ajaran agama lain ataaliran-alirayang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), seperti aliran Millata Abraham, Ahmadiyah, Syiah, Mukmin Mubaliq dan lainnya. Perubahan- perubahan sosial dan kebudayaan tersebut selalu berkaitan dengan ekonomi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam suatu lembaga kemasyarakatan akan mengakibatkan pula perubahan dalam lembaga kemasyarakatan lainnya. Karena itulah, dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut selalu ada proses saling mempengaruhi secara timbal balik.

Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka   sendir terhada gay busan muslimah   sert industrialisas dan globalisasyang  melanda  dunia.  Konsep  cantik  bagi  wanita  sekarang  amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula



dipengaruhi budaya  luar.  Kedua  aspek  tersebut  akan  menjadi  referensremaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka.

Gaya  busana  mereka  lebih  memilih  baju-  baju  kasual  untuk  kegiatan sehari-hari mereka.  Terdapat  empat  gaya  busana muslimah di kalangaremaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang,   yait gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada   beberapa jenis, seperti celana ketat/jeans, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.

Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, seperti jilbab yang dihiasi  dengan  lipstik  tebal,  lekuk  tubuh  yang  menantang  mata,  dan  perilaku agresif.



DAFTAR PUSTAKA





Yusni, Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem

Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh. Yogyakarta: Grafindo Litera Media,

2012.


B. J., Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Leiden: The

Hague-Martinus Nijhoff, 1982.


Alyasa,  Abu  Bakar Sejarah  Pelaksanaan  Syari`at  Islam  Di  Aceh

http://alyasa abubakar. com/2017/03/sejarah-pelaksanaan- syariat-islam-di-aceh/.

Muhibbuthabry Kelembagaa Wilayat    Al-Hisba dala Konteks

Penerapan Syariat  Islam di Provinsi Aceh. Peuradeun.  Vol. II.  No.  02  (Mei

2014).


Arskal,  Salim,  Sharia  From Below’  IAce(1930s–1960s):  Islamic Identity And The Right To Self-Determination With Comparative Reference To The Moro Islamic Liberation, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf).