Sunday, 2 October 2016

Menjaga MoU Helsinki Di Pundak Gubernur Aceh Mendatang



Beragam masalah yang menghimpit Aceh bermuara pada pengembangan daerah yang lebih terpancang pada rancangan teknis dan ekonomis. Orientasi meningkatkan indeks pembagunan yang berbasis nilai-nikai kearifan lokal, optimalisasi implementasi UUPA berdasarkan Mou Helsinki dalam kerangka mewujudkan perdamaian Aceh, tak jarang menempatkan masyarakat, yang merupakan entitas utama peradaban, pada posisi terluar dalam prioritas pembangunan.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, wakil pemerintahan RI dan GAM mentandatangani dan menyelesaikan masalah Aceh dengan damai, yang dikenal MoU Helsnki. MoU berisikan sejumlah komitmen untuk menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat.

Terlepas dari pro dan kontra, pelaksanaan MoU telah melahirkan optimisme baru bahwa konflik Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai. Optimisme ini muncul karena pelaksanaan poin-poin MoU yang tidak memerlukan yuridis dapat dilaksanakan dengan baik, misalnya penyerahan dan pemusnahan senjata GAM, penarikan pasukan TNI, serta upaya-upaya reintegrasi. Oleh karena itu, pelaksanaan MoU mendapat sambutan dan dukungan yang sangat luas baik di Aceh maupun luar Aceh.

Akhirnya setelah MoU terjadi, lahirlah Undang-undang tentang pemerintahan Aceh (undang-undang No. 11 Tahun 2006) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pada tanggal 1 Agustus 2006 Undang-undang Pemerintahan Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA disahkan.

Dengan berhasilnya kita mewujudkan suatu Undang-undang Pemerintahan Aceh yang aspiratif, yang berfungsi sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya, penyelenggaraan subtansi MoU, penguat perdamaian. Melalui UUPA ini kesejahteraan, keadilan dan kedamaian akan terus berkelanjutan di Provinsi Aceh.

Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan MoU Helsinki, tidak hanya bertanggung jawab atas pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pelaksanaan dari Undang-undang tersebut secara sungguh-sungguh. Karena kegagalan dalam pelaksanaannya akan berimplikasi negatif bagi kelanjutan perdamaian di Aceh.

Kebiasaan selama ini cagub dan cawagub dalam visi dan misinya banyak sekali merumuskan hal yang indah dalam penyelesaian Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yang hanya menjadi hiasan dan harapan yang semu. Rakyat Aceh sangat mengharapkan Gubernur Kedepan agar segera menyiapkan diri untuk mengantisipasi dan menyambut pengesahan Undang-Undang ini dengan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaannya, Agar tidak ada lagi dusta diantara negara dengan rakyat Aceh.


No comments:

Post a Comment